Seorang pembelajar dengan semangat: Rogo, Scribo, Gratias Ago (Aku Bertanya, Aku Menulis, Aku Bersyukur). Pernah bekerja di PT Telekomunikasi Indonesia Tbk dan PT Bank CIMB Niaga Tbk.

Mampukah RI Menyerukan De-eskalasi Perang Tarif Trump?

Senin, 28 April 2025 22:33 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Donald Trump
Iklan

Perang Tarif tidak mungkin berlangsung tanpa akhir. Adakah ruang bagi Indonesia untuk memanfaatkan situasi jelang akhir perang tarif AS-China?

***

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China, yang ditandai dengan aksi saling balas menaikkan tarif impor, telah mencapai intensitas yang mengkhawatirkan. Bahkan cenderung tidak masuk akal bagi kedua negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini terjebak dalam spiral kebijakan proteksionis, dunia berada di ambang resesi global yang dipicu oleh ketidakpastian perdagangan dan gejolak pasar. Sejarah telah berulang kali membuktikan hal itu.

Indonesia, sebagai negara berkembang yang sangat bergantung pada kestabilan perdagangan internasional, memiliki kepentingan strategis untuk menyerukan de-eskalasi konflik ini. Sebagai salah satu negara “inbetweener”—Indonesia dapat mengambil posisi leadership dalam menyuarakan kompromi dan mendorong AS-China segera bernegosiasi.

Sinyal de-eskalasi sebetulnya mulai nampak. China baru-baru ini memberikan sinyal kuat untuk meredakan ketegangan dengan mengecualikan beberapa impor dari Amerika Serikat dari tarif 125% yang sebelumnya diberlakukan.

Langkah ini diambil setelah pemerintah China meminta perusahaan-perusahaan untuk mengidentifikasi barang-barang penting yang mereka butuhkan tanpa beban tarif, sebagai upaya mengurangi dampak ekonomi dari perang dagang.

Di sisi lain, pemerintahan Trump mulai menunjukkan indikasi bahwa tarif tinggi yang dikenakan terhadap China mungkin akan ditinjau ulang. Trump bahkan mengatakan: tarif yang terlalu tinggi akhirnya hanya akan membuat konsumen tidak akan membeli produk.

Sikap saling terbuka ini seharusnya dimanfaatkan Indonesia untuk mengambil posisi sebagai penengah. RI dapat memanfaatkan reputasi diplomasi bebas-aktifnya untuk menyerukan rasionalitas dalam hubungan dagang internasional.

Dunia membutuhkan suara yang menekankan pentingnya stabilitas, kolaborasi, dan pertumbuhan berkelanjutan.

Ketegangan dagang yang dimulai pada 2018, bahkan jauh sebelumnya, kini telah mengakibatkan tarif atas barang-barang China melonjak hingga 145%, sementara balasan dari Beijing tak kalah tajam, yakni bea masuk 125% atas produk AS.

Kebijakan ini telah mengganggu rantai pasok global, memukul pasar saham, dan memunculkan ketidakpastian yang memperlambat investasi. Data dari Hapag-Lloyd menunjukkan bahwa 30% pengiriman dari China ke AS dibatalkan, memperjelas dampak kelumpuhan perdagangan yang sedang berlangsung.

Bagi Indonesia, implikasi dari ketegangan ini sangat nyata. Sebagai bagian dari ekosistem perdagangan Asia dan mitra dagang kedua negara tersebut, RI menghadapi risiko terganggunya ekspor, naiknya harga barang impor, dan ketidakstabilan nilai tukar.

Selain itu, perang dagang mempersempit ruang manuver bagi negara-negara berkembang untuk menarik investasi asing yang kini lebih berhati-hati.

Indonesia juga berpotensi menjadi korban jika konflik ini terus berlanjut. Ketergantungan RI terhadap barang modal dan bahan baku dari kedua negara menjadikan setiap kenaikan tarif atau gangguan logistik sebagai ancaman langsung terhadap sektor manufaktur dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Selain itu, ketegangan geopolitik yang meningkat bisa mengganggu keamanan regional, sesuatu yang jelas tidak diinginkan oleh ASEAN.

Kini saatnya Indonesia berani menyuarakan pentingnya de-eskalasi. Dengan mengedepankan prinsip keadilan dan kerja sama multilateral, RI dapat mengajak negara berkembang lainnya ikut mendesak AS dan China agar kembali ke meja perundingan.

Saatnya Indonesia hadir kembali di panggung global dengan semangat yang konstruktif, menyerukan penghentian politik ekonomi transaksional yang merugikan pihak ketiga. Di forum-forum internasional seperti G20 dan WTO, pidato-pidato diplomatik kita harus lantang menolak kebijakan proteksionisme yang hanya memperburuk ketidakpastian global.

Dunia tidak dapat terus menjadi penonton pasif ketika dua raksasa ekonomi, Amerika Serikat dan China, mengancam kemakmuran bersama melalui perang tarif yang tiada ujung.

Langkah China yang mulai memberikan pengecualian tarif seharusnya tidak dilihat sebagai tanda kelemahan, melainkan sebagai kebijakan realistis yang mengedepankan pentingnya stabilitas dan kepercayaan global.

Sementara itu, AS juga perlu diingatkan bahwa tarif bukanlah solusi jangka panjang atas defisit perdagangan mereka; itu hanyalah instrumen sementara yang justru dapat berbalik menghantam ekonomi domestiknya sendiri.

IMF telah mengingatkan bahwa perang dagang ini berpotensi memperlambat pertumbuhan global dan menambah beban utang negara-negara berkembang, sementara pasar finansial telah menunjukkan kegelisahannya lewat penurunan indeks dan volatilitas tinggi.

Di tengah kondisi ini, Indonesia harus mengambil inisiatif diplomatik yang menekankan pentingnya solusi win-win. Baik AS maupun China harus didorong untuk menyadari bahwa kepentingan global jauh lebih penting daripada kepentingan politik domestik yang sempit.

Kita tidak boleh lupa bahwa Indonesia pernah memainkan peran sentral dalam meredakan ketegangan dunia pada masa Perang Dingin melalui Gerakan Non-Blok (GNB). Diprakarsai Presiden Soekarno bersama tokoh-tokoh dunia Josip Broz Tito, Jawaharlal Nehru, dan Gamal Abdel Nasser, GNB adalah respon atas rivalitas AS dan Uni Soviet.

Meski konteksnya berbeda, namun semangat Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung yang menyerukan perdamaian, de-eskalasi ketegangan geo-politik, anti-kolonialisme, dan penghormatan terhadap kedaulatan, yang kemudian ditegaskan kembali dalam KTT Non-Blok pertama di Beograd 1961--merupakan semangat yang relevan dalam konteks perang dagang saat ini.

Gerakan Non-Blok telah menjadi simbol solidaritas negara-negara berkembang dalam memperjuangkan dunia yang lebih adil dan bebas dari dominasi kekuatan besar. Indonesia dapat merajut kembali simbol ini dengan semangat GNB 2.0, mengukir kembali sejarah yang pernah tercipta. 

Semangat ini perlu dibangkitkan kembali dalam konteks kekinian. Semangat ini harus kembali menyala. Dunia saat ini menantikan langkah dan solusi nyata, bukan sekadar retorika, untuk mengakhiri perang tarif dan mengembalikan harapan akan tatanan ekonomi global yang lebih damai dan seimbang.

Dalam semangat solidaritas global dan demi masa depan ekonomi yang lebih cerah, Indonesia perlu berdiri dengan kepala tegak menyerukan de-eskalasi.

Ini bukan hanya tentang perdagangan, tetapi tentang masa depan tatanan dunia yang lebih adil dan stabil—sesuai amanat Pembukaan UUD 1945: ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sebuah cita-cita yang mulia, bukan?

Bagikan Artikel Ini
img-content
Iwan Koswadhi

Pemerhati Kebijakan Industri dan Perang Dagang

0 Pengikut

img-content

Manuver AS di Tengah Gencatan Tarif Trump

Selasa, 20 Mei 2025 09:21 WIB
img-content

Senjata China dalam Perang Tarif Trump

Senin, 12 Mei 2025 17:08 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler